Rabu, 14 Maret 2018

Jangan Lupakan Target Akhir Dakwah Kita*

*Jangan Lupakan Target Akhir Dakwah Kita*
Oleh : KH. Ustad Hilmi Aminuddin

Target akhir dakwah kita adalah nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk) dan _li I’laai kalimatillah_ (meninggikan kalimah Allah), _hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah_
(supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Jangan lupakan target akhir ini.

_Amal khoiri_ yang pendekatannya kesejahteraan, jangan dianggap sebagai _ghayah_ (target akhir), itu sasaran antara saja. Memang dia suatu anjuran dari Allah, tapi dia sasaran antara dari segi dakwah, diharapkan melalui ihsan kita menghasilkan penyikapan dan sambutan yang khoir. Hal jazaul ihsan illal ihsan, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Tapi ihsan kita, operasi mewujudkan kesejahteraan itu jangan dianggap tujuan akhir. Negara-negara Eropa itu adalah Negara yang sejahtera hidupnya. Tapi 50% penduduknya atheis.
Bagi kita, jadi camat, bupati, walikota, gubernur atau presiden, itu sasaran antara. Akhirnya _hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah_ (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Wa kalimatullah hiyal ulya (dan kalimat Allah itulah yang tinggi).

Jadi, amal tsaqafi, orang jadi bertsaqafah; amal khairi, orang jadi sejahtera; itu hanyalah sasaran-sasaran antara kita. Sebab kalau orientasi masyarakat madani itu hanya terdidik, dan sejahtera seperti di Eropa, banyak yang mulhid, atheis walaupun terdidik dan sejahtera. Walaupun bukan atheis terorganisir seperti komunis, style masyarakat sebagai individu itu atheis. Bahkan memandang keagamaan itu merupakan bagian dari budaya.
Di Jepang juga masyarakatnya sangat sejahtera. Tapi bagi mereka agama itu kultur yang terserah selera, boleh berganti kapan saja. Orang Jepang saat lahir umumnya disambut dengan upacara-upacara Budha. Ketika nanti menikah dirayakan dengan upacara Kristen dan ketika meninggal dengan upacara Sinto. Jadi mereka sebenarnya sejahtera dan terdidik. Secara fisik, materi, mereka terlihat bahagia. Tapi _yabqa ala dhalalah_ (tetap dalam kesesatan).

Nah kita sebagai *partai dakwah* tidak begitu. Maksud saya, kalau kita sudah bisa mentau’iyah (menyadarkan), menjadi terbuka, bebas, demokratis, mentatsqif, menjadi terdidik, atau menyejahterakan sekalipun, perjalanan kita masih tetap jauh. Sebab sesudah itu, bagaimana mereka bisa kita konsolidasikan, bisa kita koordinasikan, kita mobilisasikan, _litakuuna kalimatulladziina kafaru sulfa wa kalimatullahi hiyal ‘ulya_. Ini penting untuk selalu diingatkan dan dicamkan. Apalagi di masa-masa 'amal siyasi ini. Jangan merasa sukses menjadi Walikota atau Gubernur itu ukurannya sekedar telah membangun sekolah sekian, madrasah sekian, kesejahteraan, pertanian subur; sementara *hidayah tercecer* , syiar dan wajah Islam tak mewarnai kehidupan. Makanya keterpaduan langkah-langkah yang sifatnya _tarfih_ (kesejahteraan), atau tatsqif (mencerdaskan bangsa) harus sejajar dengan upaya-upaya mendekatkan orang pada hidayah Allah. Harus begitu.

Ini saya ingatkan karena ketika kita di masyarakat dituntut di sektor kesejahteraan, di sektor kebijakan, di sektor pendidikan, di sektor kesehatan; maka harus secara menyatu terpadu dengan _nasyrul hidayah_ (menyebarkan petunjuk Islam), _nayrul fikrah_ (menyebarkan gagasan Islam), wa _nasyrul harakah_ (penyebaran gerakan dakwah). Agar mereka akhirnya bergerak bersama-sama *li I’lai kalimatillah.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan jika ada yang mau berkomentar